JEJAK ISLAM DI KOREA
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Kali ini kita akan mengungkap sejarah mengenai jejak islam di korea, Di negeri ‘ginseng’, Korea Selatan, komunitas umat Islam merupakan kelompok minoritas. Namun, masyarakat Korsel menyambut kehadiran agama Islam sebagai rahmatan lil alamin, dengan didirikannya sejumlah masjid. Kehadiran masjid di negeri itu tak dipermasalahkan karena banyak memberi manfaat bagi warga setempat, terutama para mualaf dan warga yang ingin tahu lebih banyak tentang Islam.
“Islam sebagai pembawa rahmat lil alamin atau kedamaian telah diterima dengan baik di Korsel,” kata Dr. Abdul Wahab Zahid Haq, mufti Korsel yang berasal dari Turki kepada pers disela mengikuti konferensi internasional tentang wakaf di Jakarta, Selasa (25/12).
Di Korsel, Islam baru masuk pada tahun 1955, yang diawali oleh tiga orang tentara Turki. Jumlah kaum Muslimin di Korsel sekitar 30-40 ribu jiwa. Bila ditambah warga negara asing yang juga beragama Islam, jumlahnya menjadi 150 ribu jiwa. Di antara warga negara asing itu adalah para pekerja dari Indonesia.
Sebagai mufti di Korsel, Abdul Wahab melakukan tugas-tugasnya dengan penuh keramahan. Ia sangat menjauhi melakukan pendekatan kekerasan, terlebih di luar Korsel sering terdengar isu miring tentang Islam. Abdul Wahab mengaku tidak bersedih harus menjalankan semua misi dakwah di negeri ginseng tersebut. “Namun kesedihan itu terasa mendekat ketika saya menjelaskan kepada warga sekitar, mereka tidak paham,” ujar Abdul Wahab.
Pun demikian, ia terus berikhtiar menjelaskan tentang tauhid, keesaan Allah, kedudukan Rasulullah SAW, secara berulang-ulang. Merupakan suatu kegembiraan manakala penjelasannya dapat diterima warga setempat. Total ada 70 masjid yang tersebar di berbagai kota di Korsel, dan semuanya dioptimalkan untuk pusat dakwah sekaligus Islamic Center.
Abdul Wahab yang datang ke Korsel sejak tahun 1982, kini semakin dikenal oleh warga Korsel. Banyak warga setempat yang bertanya kepadanya tentang Islam dan dijawabnya dengan gamblang dan menyejukkan. Dan alhasil warga Korsel ada yang tertarik dan akhirnya memilih memeluk agama Islam.
Dalam berfatwa, Abdul Wahab menggunakannya sebagai pegangan dan panduan umat Islam dalam pelaksanaan ibadah dan etika kehidupan sehari-hari. Jika ada orang Muslim di negeri itu bertanya atau meminta fatwa padanya, ia harus melihat ke yang bersangkutan berpegang pada mahzab apa. Ia sesuaikan dengan mahzab yang dipegang oleh orang yang bertanya. Yang penting tidak menyimpang 2 sumber hukum utama Islam; Al Qur’an dan Al Hadits.
Jejak dan Dakwah Islam di Korea
SEBUAH buku karya seorang Muslim Korea, Dr Ali An Sun Geun,
diluncurkan Rabu (30/3) di Ruang Diorama. Buku berjudul Islam Damai di Negeri
Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan Dinamika Islam di Korea tersebut
bercerita mengenai sejarah dan dakwah Islam di Korea.
Tahun 1984, seorang pria bermata sipit dan rambut yang
selalu dicukur pendek datang ke Indonesia. Pria itu ingin belajar Islam dan
kemudian --atas beasiswa dari Departemen Agama RI dan Korea Muslim Federation--
kuliah di Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta. Selama kuliah di
Ciputat ia tinggal di Asrama Putra kompleks dosen dan biasa makan di warung
tegal.
Ali An Sun Geun (46), nama pria itu, tak lain adalah seorang
anak muda Korea yang sedang bersemangat mendalami Islam. Ia menjadi mualaf
tahun 1979 atau saat masih pelajar SMA. Ali masuk Islam karena tertarik suara
adzan dari sebuah mushala yang tak jauh dari rumahnya di Distrik Kwangju,
sekitar 45 kilometer dari Kota Seoul. Sebelumnya, anak kedua dari dua
bersaudara ini adalah seorang penganut Budha yang taat.
“Saya tertarik Islam karena agama tersebut mengajarkan
monoteisme dan bersifat universal,” ujarnya.
Lulus dari IAIN Jakarta tahun 1989, Ali melanjutkan
pendidikan S2 bidang kajian Antropologi Agama di Universitas Indonesia. Setelah
tamat tahun 1994 ia kembali kuliah mengambil Program Doktor di Sekolah
Pascasarjana UIN Jakarta bidang Kajian Islam hingga selesai tahun 2010.
Disertasi doktoralnya lalu diterbitkan UIN Jakarta Press (2011) dalam bentuk
buku berjudul Islam Damai di Negeri Asia Timur Jauh: Meneropong Penyebaran dan
Dinamika Islam di Korea.
Rabu (30/3) lalu, buku Ali diluncurkan di Ruang Diorama di
lantai dasar Auditorium Prof Dr Harun Nasution. Acara dihadiri Rektor UIN
Jakarta Prof Dr Komaruddin Hidayat dan Wakil Duta Besar Korea untuk Indonesia
Lee Dong Kwan. Sejumlah kolega Ali juga datang, seperti pengusaha asal Korea
yang menjadi Presiden Direktur Eco Frontier JP Jaepil Song, politisi Partai
Golkar Ade Komaruddin Muhammad, dan politisi Partai Demokrat Imran Muchtar
Alifia. Juga tampak istri pengusaha Bob Hasan, Pertiwi Hasan, yang sekaligus
menjadi ibu angkat Ali.
Menurut Rektor, buku mengenai Islam di Korea karya Ali An
Sun Geun sangat penting dan bermanfaat. Apa yang ditulis dalam buku pria asal
Negeri Ginseng yang kini menjadi warga negara Indonesia itu dapat dikatakan
sebagai jendela informasi mengenai perkembangan Islam di Korea.
“Ali (Ali An Sun Geun) merupakan salah satu juru bicara
Indonesia tentang Islam bagi pemerintah dan masyarakat Korea Selatan. Begitu
pun sebaliknya, bagi Indonesia Ali merupakan narasumber terdekat untuk
mengetahui perkembangan Islam di Korea Selatan,” tutur Rektor. Bahkan, Ali juga
sebagai tempat bertanya dan konsultan bagi para calon investor Korea bagaimana
mengenal dan memahami masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.
Dalam buku setebal 362 halaman itu, Ali mengemukakan, Islam
masuk ke Semenanjung Korea dimulai pada abad ke-9 atau semasa Dinasti Shilla
(668-936 M) oleh para pedagang dari Arab dan Parsi melalui proses difusi dan
akulturasi. Pada mulanya Islam oleh masyarakat dipandang bukan sebagai agama
melainkan budaya. Namun, dalam perkembangannya kemudian, Islam diterima sebagai
salah satu agama bagi masyarakat Korea.
Di Korea Selatan, populasi
orang Islam semakin meningkat, terutama setelah Perang Korea (Perang
Korea Utara dan Korea Selatan) tahun 1950-1953. “Hingga kini penganut agama
Islam di Korea mencapai lebih dari
150.000 orang dari sekitar 42 juta penduduk Korea. Jumlah itu belum termasuk
para pekerja migran tetap,” katanya. Mereka terkonsentrasi di Kota Seoul, ibu
kota Korea Selatan. Di kota ini terdapat masjid pertama yang dibangun tahun
1976 atas biaya Misi Dakwah Islam Malaysia dan negara-negara Islam lain. Total
masjid di Korea saat ini terdapat sembilan buah, empat buah Islamic Center, dan
60 buah mushalla.
Ali juga mengatakan, dakwah Islam di Korea semakin meningkat
setelah dibentuknya Korea Muslim Federation (KMF) pada tahun 1967. Lembaga ini
secara aktif mengadakan gerakan dakwah di Korea secara jelas dan terbuka. Tak
hanya itu, pesatnya perkembangan Islam juga berkat dukungan dan bantuan para
pendakwah dari negara lain.
Namun, di tengah penduduk Korea yang mayoritas non-muslim
dan masih sulit menerima Islam, perkembangan dakwah Islam kerap menemui banyak
kendala, meski pemerintah terbuka terhadap agama baru. Beberapa kendala itu
antara lain kebiasaan masyarakat Korea yang mengonsumi daging babi dan minuman
keras; pelaksanaan kewajiban umat Islam yang belum sepenuhnya sempurna, seperti
shalat dan puasa; kurangnya tenaga dai; serta masalah komunikasi, misalnya
orang Korea yang sulit memahami bahasa Arab di samping masih langkanya
buku-buku Islam yang ditulis dalam bahasa Korea.
Meski demikian, Ali optimis bahwa dakwah Islam di Korea akan
mengalami kemajuan. Hal itu dipicu oleh setidaknya dua faktor, yakni faktor
karakteristik agama Islam yang memberikan kemudahan bagi pemeluknya serta
faktor politik, ekonomi, dan kebudayaan.
“Korea sejak tahun 1950 telah menjalin kerja sama dengan
negara-negara di Timur Tengah. Bahkan tahun 1969 telah membuka pula hubungan
diplomatik dengan negara-negara Islam lain. Karena itu Pemerintah Korea
menganggap bahwa hubungan diplomatik dengan negara-negara Islam merupakan
kemenangan politik, ekonomi, dan bahkan kebudayaan termasuk pendidikan,”
paparnya. (nanang syaikhu)
http://www.uinjkt.ac.id/index.php/component/content/article/3-seputar-kampus/1896-jejak-dan-dakwah-islam-di-negeri-ginseng.html
ISLAM DI NEGERI GINGSENG
Telah diketahui bersama oleh dunia bahwa Korea merupakan salah satu
negara yang cukup maju di bidang teknologi. Berbagai produk elektronik
Korea dengan kualitas yang lux membanjiri berbagai negara. Meski begitu,
terdapat satu hal yang sering luput di negeri gingseng ini dari sorotan
khayalak, yakni kehidupan beragama di negeri ini.
Sebagaian besar masyarakat di korea tidak beragama (atheis), yang
jumlahnya mencapai sekitar 45%. Kemudian, diikuti dengan pemeluk agama
Budha (23%), Kristen (18%) dan Katolik (10%) secara berturut-turut [1].
Tidak lupa, terdapat satu masyarakat minoritas yang menganut agama
tauhid yang berusaha untuk tetap eksis di tengah-tengah mayoritas
masyarakat pada umumnya. Ya, kelompok minoritas tersebut adalah umat
Islam. Islam pertama kali mulai dikenal di Korea sejak tahun 1955 dengan
datangnya tentara Turki untuk misi perdamaian di bawah PBB. Mereka
membangun sebuah tempat sholat sederhana dari tenda dan mengenalkan
tentang Islam di Korea. Sejak saat itu, kaum muslimin mulai ada dan
jumlahnya terus bertambah [2]. Meski demikian, sangat berbeda dengan di
Indonesia, jumlah penduduk asli Korea yang beragama Islam sampai saat
ini tidak lebih 0,1% dari sekitar 50 juta jiwa total populasi penduduk
[3,4]. Di samping jumlah tersebut, terdapat sekitar 200.000 muslim
pendatang dari berbagai negara di dunia, baik untuk bekerja, belajar,
ataupun menetap di Korea [3].
Masjid
Masjid
Masjid pertama yang dibangun di Korea adalah Seoul Central Masjid and
Islamic Center yang berada di kota Itaewon. Masjid ini selesai dibangun
dan dibuka untuk publik pada tahun 1974 [5]. Tidak hanya sebagai tempat
sholat, di kompleks masjid juga dilengkapi dengan kantor, ruang kelas,
sekolah, dan aula untuk konferensi. Hal ini dimaksudkan agar masjid ini
tidak hanya berfungsi sebagai tempat sholat saja, namun juga sebagai
pusat dakwah dan pendidikan. Sebagai contoh, program pengobatan gratis
diadakan secara rutin untuk masyarakat umum di kompleks masjid ini.
Segala kegiatan ibadah dan aktivitas dakwah dikoordinasi oleh Korean
Muslim Federation (KMF). Mengingat sebagian besar jumlah kaum muslimin
yang di Korea adalah pendatang, maka seluruh aktivitas ibadah di masjid
meliputi sholat jumat, idul fitri dan yang lainnya, disampaikan dalam 3
bahasa, yakni arab, inggris dan korea.
Sampai
sekarang ada sekitar 21 masjid/islamic center yang tersebar di beberapa
pusat kota di Korea, yang seluruhnya dibawah koordinasi oleh KMF [6].
Selain masjid dan islamic center, beberapa universitas/perusahaan
menyediakan ruangan untuk tempat sholat bagi mahasiswa maupun
karyawannya. Adapun di sebagian besar tempat, tidak pernah dijumpai
tempat sholat khusus, sehingga kebanyakan kaum muslimin menjalankan
sholat saat datang waktunya di mana saja, asalkan suci.
Makanan
Untuk mendapatkan makanan halal di negeri ini tidak sulit. Hampir di
setiap kompleks masjid, terdapat toko muslim yang menyediakan berbagai
macam makanan halal dari berbagai negara. Di samping itu, terdapat toko
khusus yang menjual daging halal yang disembelih secara islami.
Terkait makanan kemasan produksi Korea, perlu kehati-hatian dalam
memilih, karena sebagian besar makanan kemasan mengandung babi atau
turunannya. KMF sudah mengeluarkan list makanan-makanan kemasan yang
sudah dicek kehalalannya. Terdapat list makanan yang bisa dikonsumsi
secara aman dan makanan yang mengandung yang haram. Adapun di luar list
tersebut, pembeli harus mengecek sendiri kandungan penyusun makanan
tersebut.
Masyarakat korea sangat gemar untuk makan daging. Sehingga sebagian
besar restoran memiliki menu utama daging, baik babi, sapi, maupun ayam.
Mengingat penyembelihan sapi dan ayam tidak mengikuti syariat Islam,
kaum muslimin cenderung memilih menu sayuran dan ikan tatkala mengikuti
jamuan makan bersama di restoran korea. Adapun di sekitar kompleks
masjid/islamic center, terdapat banyak sekali restoran yang menyajikan
makanan halal dari berbagai negara.
Budaya
Ada dua hal positif yang sangat kentara di kehidupan masyarakat
Korea, yakni kerja keras dan kebersamaan. Hal ini berlaku untuk setiap
komunitas, baik universitas, perusahaan, maupun yang lainnya. Namun
begitu, kedua hal tersebut bisa menjadi masalah bagi seorang muslim jika
tidak bisa hati-hati dalam bersikap. Terkait yang pertama, bagi
sebagian besar orang Korea yang tidak beragama, kehidupan hanya untuk
mendapatkan kesenangan hidup. Tidak ada hal khusus lain setelahnya. Oleh
karena itu, sebagian waktu mereka hanya untuk mengejar tujuan ini.
Tidak aneh jika dijumpai sebagian dari mereka cenderung menerapkan hal
tersebut kepada bawahannya, baik karyawan maupun mahasiswa. Sehingga,
untuk beberapa kasus, banyak diantara karyawan atau mahasiswa yang
bekerja di luar jam wajib kerja untuk mengejar tuntutan hasil maksimal.
Hal ini kadang melalaikan kewajiban mendasar untuk urusan akherat.
Sehingga, pandai dalam mengatur waktu adalah kunci utama untuk
mendapatkan kesuksesan, baik di dunia dan akherat.
Untuk yang kedua, terkait kebersamaan. Dalam beberapa kesempatan,
kegiatan bersama sangat sering dilakukan. Hal ini cukup baik untuk
meningkatkan keakraban antar anggota dalam komunitas tersebut. Namun
begitu, tidak semua kebersamaan bebas dari masalah. Salah satu yang
sangat kentara adalah saat kegiatan makan bersama dalam situasi
tertentu, misalnya menyambut anggota baru, liburan akhir tahun, atau
yang lainnya. Jika sekedar jamuan makan bersama saja, tentu tidak
menjadi masalah, karena seorang muslim dapat memilih menu sayuran atau
ikan. Namun, sudah menjadi hal yang lumrah, bahwa jamuan makan di negeri
ini juga diiringi dengan sajian khomr. Adalah suatu hal yang
sudah umum, menurut budaya di Korea, di mana seorang bawahan, termasuk
murid dalam hal ini, harus menuangkan khomr ke gelas atasannya.
Hal ini tentu tidak patut dilakukan bagi seorang muslim. Ditambah lagi,
setelah selesai makan di restoran, biasanya dilanjutkan dengan pergi
bersama ke bar untuk menyanyi bersama atau sekedar ngobrol, tentu
ditemani dengan khomr lagi. Oleh karena itu, penolakan secara halus dengan menjelaskan secara baik harus dilakukan,
Menjadi Muslim di Korea
Bagaimanakah menjadi seorang muslim di Korea? Menurut hemat penulis,
sebagai seorang pendatang, menjadi seorang muslim dan tinggal di Korea
tidaklah sulit (meski juga tidak bisa dikatakan mudah). Secara umum,
tidak ada hambatan berarti untuk menjalankan segala aktivitas ibadah. Di
samping itu, untuk mendapatkan makanan yang halal dan baik, juga tidak
sulit. Di sisi lain, masyarakat Korea cenderung tidak terlalu peduli
dengan masalah agama, dan menghormati pemeluk agama lain. Sehingga, jika
mereka mengetahui ada seorang yang ingin menjalankan ibadah dengan
baik, mereka tidak akan ambil pusing dan beberapa diantaranya akan
cenderung untuk mendukung (dengan menyediakan tempat dan yang lainnya).
Meski demikian, sangat boleh jadi ada beberapa kasus yang berbeda dari
hal ini di luar sepengetahuan penulis.
Bagaimana dengan penduduk asli? Hasna Bae, seorang mahasiswa (23 th)
menyebutkan bahwa menjadi seorang muslimah di Korea tidak bisa dikatakan
mudah. Hal ini dikarenakan jumlah kaum muslimin sangat sedikit,
sehingga perbedaan cara hidup, baik dalam pakaian, makanan atau hal
lainnya menjadikan mereka sangat kentara dan menjadi pusat perhatian
dibandingkan yang lainnya. Yu Hyun Il (22 th), presiden asosiasi
mahasiswa muslim di Hankook University of Foreign Studies (HUFS),
menyebutkan bahwa hal yang paling sulit bagi dia adalah terkait dengan
makanan dan minum khomr di bar. Terkait makanan, dia hanya bisa
memilih menu sayuran dan ikan saat makan di restoran. Di samping itu,
dia tidak pernah diajak pergi bersama ke bar, karena dia tidak ikut
minum khomr. Jika dia ikut, terkadang suasana menjadi aneh dan
tidak menyenangkan. Hal laen yang sangat berat dirasakan adalah
menghilangkan opini masyarakat tentang Islam. Tatkala ada berita tentang
pengeboman yang mengatasnamakan Islam dan jihad, sebagai contoh
serangan 11 September di Amerika, masyarakat awam berfikir bahwa Islam
mengajarkan kekerasan dan pengeboman untuk jihad. Banyak masyarakat awam
Korea yang tidak tahu, menjadi takut dan cenderung menjauhi Islam dan
pemeluknya karena hal ini. Oleh karena itu, sebagai penduduk asli yang
beragama Islam, mereka berusaha keras menjelaskan kepada masyarakat awam
bahwa Islam sangat melarang kekerasan, pengeboman dan hal semacamnya.
Dan alhamdulillaah, Lee Ju-hwa, Ketua Dakwah dan Pendidikan KMF,
menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat Korea sekarang bisa memahami
[2]. Meski hidup sebagai seorang muslim bagi warga asli Korea terlihat
berat, merea sangat bangga menjadi seorang muslim. Hasna bae, yang
sedang kuliah di bidang metal design, menyebutkan bahwa dia
mencari pekerjaan di bidang tersebut tanpa mengenyampingkan agamanya.
Saat dia di tanya, “Apakah Anda akan menyembunyikan keyakinan Anda untuk
mendapatkan pekerjaan?” Dia menjawab, “Never. I do not want to work for a company that doesn’t respect its employee’s religion anyway” [3].
http://muslim.or.id/jejak-islam/gambaran-ringkas-islam-di-negeri-gingseng.html
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentarnya.